Masjidil Aqsa yang pernah menjadi kiblat umat islam sebelum Masjidil Haram |
Oleh M. Faqih Bramasta
Kiblat merupakan suatu arah yang dituju dalam sebagian konteks beribadah. Dimana kehadiran kiblat di tengah - tengah umat beragama menjadi salah satu hal yang urgen terutama dalam sebagian daripada koteks fungsinya. Hal ini dapat dilihat dalam shalat umat Yahudi yang menghadap Baytham Miqdash atau Baitul Maqdis di kota suci Yerussalem. Adapun Sinagoge - sinagoge Yahudi yang berada di luar Yerussalem ketika shalat menghadap ke Yerussalem sebagai kiblat mereka. Dalam pemilihan kiblat umat yahudi tidak seenaknya, melainkan mereka mengikuti perilaku Nabi Daniel, sebagaimana dalam alkitab (Daniel 6:11) yang menceritakan bahwa Nabi Daniel berlutut dengan kakinya sehari tiga kali menghadap Yerussalem untuk mengerjakan shalat. Namun tampaknya yang demikian ini mulai diikuti oleh umat Kristiani dan terus berkembang hingga terjadi serangan tentara Romawi pada tahun 70 M yang mengakibatkan hancurnya Baitullah. Baru pasca penyerangan tentara Romawi tersebut, umat kristiani menjadikan arah timur sebagai arah shalat mereka, sebagaimana disebutkan dalam Yohanes 4:12, Kejadian 2:8 serta Yahezkiel 43:2 dan 44:1.
Senada dengan umat yahudi dan Kristiani, umat islam juga membutuhkan kehadiran kiblah, terutama dalam menyatukan umat muslim dalam shalat. Dengan adanya kiblat ini kegiatan beribadah umat islam menjadi lebih rapih yaitu mengarah pada satu tempat yang sama, yaitu baitul harom. Terbayang bukan bagaimana semprawutnya ibadah umat ini tatkala tidak ada kehadiran kiblat, bisa jadi dalam satu masjid akan ditemui orang sholat menghadap ke segala penjuru arah. Oleh karenanya, menghadap kiblat bagi umat islam dijadikan sebagai salah satu bagian dari syarat sah shalat. Artinya, ketika seseorang melaksanakan ibadah sholat, namun tidak menghadap kiblat maka sholatnya tidak sah. Demikian dalam kitab al Nihayah Syarhi Matnu al Ghooyah wa al Taqrib, Syeikh Abil Fadli Waliyuddin al Bashri dalam menjelaskan tentang menghadap kiblat berlandaskan firman Allah Q.S. al Baqarah ayat 144. Selain itu beliau juga mendasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim melalui sanad yang berbeda, bahwa Rasulullah melakukan dua rukuk menghadap Ka’bah, yang kemudian hadis tersebut dijelaskan lagi dengan menukil dari al Darimi dalam pembahasan Kitab al Sholah Bab 42, bahwa ka’bah yang dimaksud di sini merupakan tempat yang dijadikan sebagai kiblat. Dengan demikian, kita diwajibkan mengikuti apa yang Rasulullah lakukan ketika shalat, dalam koteks kali ini adalah menghadap Ka’bah sebagai kiblat sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ahamd dalam Musnadnya “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (Rasulullah) sholat”. Dari semua itu merupakan bukti dimana kehadiran kiblat sangat penting bagi keberlangsungan peribadatan umat beragama, khusunya umat islam.
ولخبر الشيخين انه صلى الله عليه وسلم ( ركع ركعتين قبل لكعبة) و قال (هذه القبلة) مع خبر( صلوا كما رأيتموني أصلي)
النهاية شرح الغاية والتقريب ص. 58
Namun tampaknya dalam seiring berkembangnya zaman, kiblat yang digunakan tidak selalu abadi digunakan. Sebagaimana kiblat umat kristiani yang berubah ke arah timur pasca runtuhnya Baitullah di Yerussalem. Demikian pula dengan umat islam, dimana sejarah mencatat bahwa awal mula kiblat umat muslim sama dengan orang – orang yahudi dan kristen, yaitu Baitul Maqdis di Yerussalem. Sebagaimana disebutkan oleh Abu Hatim al Bustani, bahwasannya umat muslim pada waktu itu melaksanakan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah Saw. masih berada di Makkah hingga bermigrasi ke Madinah dan berjalan selama tujuh belas bulan lebih tiga hari, lebih tepatnya mulai terhitung ketika beliau tiba di Madinah pada hari Senin bertepatan dengan malam dua belas bulan Robi’ul Awal.
Selama tujuh belas bulan tiga hari tersebut Rasulullah SAW sangat menginginkan arah kiblat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis dipindah ke Ka’bah. Keinginan tersebut, Rasulullah tunjukkan dengan sering menghadap ke langit sembari berharap akan turun wahyu robbaniy yang memerintahkan beliau untuk memindahkan kiblat, dan sikap tersebut Rasulullah lakukan setiap hari. Melihat sikap kekasihnya demikian, maka Allah SWT memberikan apa yang beliau kehendaki dan benar-benar menjadi nyata dengan diturunkannya surat al Baqoroh ayat 144, yang berbunyi:
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan” (Q.S. al Baqoroh [2]:144)
Dengan diturunkannya ayat tersebut, mengisyaratkan bahwa peristiwa melihatnya Rasulullah ke langit setiap hari sebagai bentuk kegelisahan beliau sekaligus menjadi Asbabun Nuzul dari Surah al Baqoroh ayat 144 sendiri. Bahkan tidak sampai disitu, peristiwa ini juga yang menjadi Asbabul Wurud dari hadis yang diriwayatkan al Bukhori, bahwa Sayyidah Aisyah r.a. berkata kepada Rasulullah “saya tidak melihat Tuhanmu di langit, kecuali Ia menyegerakan (apa yang engkau kehendaki)”. Ibnu Hajar mengungkapkan bahwa maksud hadis A’isyah di atas adalah, Aisyah tidak melihat bahwa Allah kecuali Ia mewujudkan apa yang engkau (Rasulullah) kehendaki tanpa ada tenggang waktu serta menurunkan atas apa yang engkau senangi dan memilih.
Sehubungan dengan hadis tersebut, al Habib Muhammad bin Alwi bin Abbas al Maliki al Makki al Hasani menuturkan, bahwa Rasulullah tidak ridho terhadap suatu perkara kecuali Allah turut memberikan ridho-Nya di dalam perkara tersebut. Dengan demikian turunnya surah al Baqoroh ayat 144 juga dijadikan sebagai sertifikasi dari surah ad Duha ayat 5, sebagaimana dituturkan oleh al Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al Maliki al Makki al Hasani, yakni salah satu kepuasan yang Allah berikan kepad Rasul-Nya adalah dengan dipindahkannya kiblat, dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh Rasulullah Saw.
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (Q.S. ad Duha:5)
Lantas mengapa Rasulullah lebih menginginkan Ka’bah sebagai kiblat umat muslim? dan memilih meninggalkan Baitul Maqdis sebagai kiblat?
Peristiwa yang melatarbelakangi beliau ingin merubah arah kiblat adalah pernyataan kaum yahudi madinah yang mengolok – ngolok beliau, dimana beliau merupakan seorang Rasul yang membawa ajaran baru tetapi masih saja megikuti arah kiblat umat terdahulu. Pernyataan kaum yahudi tersebutlah yang membuat gelisah Rasulullah, sehingga beliau ingin memindahkan kiblat ke Ka’bah. Adapun alasan mengapa Rasulullah lebih memilih Ka’bah di Makkah sebagai kiblat adalah tempat pertama yang dibangun untuk beribadah umat manusia dimana tempat tersebut juga diberkahi dan memberikan petunjuk bagi umat manusia. Selain itu, di sana juga terdapat peninggalan yang harus dilestarikan seperti Maqam Ibrahim dan juga terdapat sebuah dijamin keselamatannya bagi siapa saja yang memasuki wilayah tersebut. Lebih lanjut, bahwa di tempat itu Allah mewajibkan ibadah haji bagi manusia yang mampu meaksanakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 66 – 67.
اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ
“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”(Q.S. Ali Imran [3]: 96)
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (Q.S. Ali Imran [3]: 97)
Namun selain semua itu, ada yang perlu umat muslim ketahui yaitu pemindahan arah kiblat terjadi pada bulan Sya’ban. Sebagimana Abu Hatim al Bustani menuturkan bahwa Allah memerintah Rasulullah menghadap Ka’bah bertepatan pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban. Rupa – rupanya ini merupakan salah satu alasan mengapa bulan Sya’ban menjadi bulan yang mulia. Bahkan al Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al Malikki al Makki al Hasani menulis risalah dengan judul “maadzaa fii Sya’baan?” yang artinya “apa yang terjadi pada Bulan Sya’ban?”. Salah satu pembahasan yang beliau tulis dalam risalahnya ini adalah “tahwiilu al qiblah” atau “pemindahan kiblat”.
Oleh karena itu, setelah mengetahui salah satu peristiwa yang terjadi pada bulan Sya’ban, mari kita muliakan bulan Sya’ban ini dengan melakukan amal – amal terpuji. Jangan kita kotori kemuliannya dengan perbuatan kita yang tercela lagi hina. Terus berkompetisi dalam amar ma’ruf nahi munkar di bulan gelanggang ini, dan mari kita raih kemenangan bersama – sama esok di bulan Ramadhan dan kelak di hari pembalasan. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan bulan Rajab dan Sya’ban serta semoga kita diberikan umur yang panjang lagi barokah beserta dengan kesehatan sehingga dapat bertemu dengan bulan Ramadhan. Wallahu A’lamu bi al Showwab.
M. Faqih Bramasta
Sleman, 18 Maret 2021. 13.24 WIB
0 Komentar