Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia sedikit agak tersendat dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda berusaha menekan umat Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan dibuatnya aturan aturan yang sangat merugikan bagi umat Islam. Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dapat digambarkan dengan munculnya berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli sejarawan. Seperti teori penerimaan otoritas hukum, teori receptio in complexu, teori receptio, receptio exit, dan teori receptio a contrario.
Sejak pemerintahan Belanda hengkang dari bumi Nusantara, keberadaan
hukum Islam mulai dianggap signifikan dan kemudian mendapatkan perhatian yang
baik di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional. Usaha dalam
mengembalikan dan menempatkan hukum Islam terhadap kedudukannya seperti semula
terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan. Perjuangan
mereka dimulai sejak peletakan hukum dasar bagi negara kita yakni ketika
terbentuknya wadah badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
Meskipun usaha menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum dasar
nasional tidak berhasil pada saat itu, akan tetapi pada perkembangan
selanjutnya berbagai upaya terus dilakukan oleh para pemimpin dan pemikir Islam
untuk menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum dalam pembangunan
hukum nasional. Ada beberapa contoh keterlibatan hukum Islam dalam pembuatan
undang-undang seperti UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974.
Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum
Islam melalui instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991. KHI ini terdiri dari tiga
buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam. sampai saat ini
KHI menjadi pegangan para hakim agama dalam memeriksa dan mengadili
perkara-perkara umat muslim dalam hal perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Tetapi
dalam KHI belum menjangkau semua bidang yang ada dalam bagian hukum Islam.
salah satu bidang yang sama sekali tidak di singgung dalam hal ini adalah hukum
pidana Islam. Oleh karena itu jika umat Islam berperkara dalam hal pidana atau
kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya dalam KHI tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hukum pidana Islam tidak bisa
atau belum bisa diberlakukan kan di Indonesia? Tentu saja jawaban ini bisa
bervariasi tergantung siapa yang memberikan jawaban atas masalah ini.
Kelemahan dalam pengembangan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama
terlihat, bahkan sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman Hindia
Belanda, para founding fathers kita sudah merencanakan untuk memberlakukan
syariat Islam di Indonesia namun dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk
Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas
dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara
konstitusional sebagai hukum dan masih terus berlaku menurut pasal 2 aturan
peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti
dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas.
Seperti halnya KUHP, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab
pertanyaan teoritis, manakah hukum pidana yang dapat ditegakkan?. Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI
secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus
benar-benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan
langsung mendasarkan pada sumber hukum Islam, yakni Al-quran, Sunnah, dan Ijtihad
para ulama (kitab-kitab fiqih).
Kekuatan dalam pengembangan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian
umat muslim Indonesia untuk memberlakukan hukum Islam secara utuh di Indonesia,
termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan
diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari
semakin merajalela di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat
terkurangi. Sanksi tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana
selama ini tidak membuat efek jera kepada mereka sehingga berpotensi untuk
mengulangi perbuatannya. Karena itu, sanksi yang jelas dan tegas seperti yang
ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengurai
permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat animo
masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun karena
tidak mendapatkan izin dari pemerintah, keinginan untuk melaksanakannya tidak
terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh
pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan HPI. Ada beberapa
putusan pengadilan yang terkadang sama dan sesuai dengan HPI, seperti hukuman
mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang
diberlakukan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Solusi Yang Dapat Diterapkan Dalam Pengembangan Hukum Pidana Islam
Di Indonesia
Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang
nampak pada beberapa pasal di RUU KUHP, merupakan suatu keputusan dan pemikiran
yang cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan
(memberlakukan pidana Islam), minimal prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud
dalam hukum pidana kita. Misalnya tindak pidana perzinaan dan meminum minuman
keras tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk 40
kali Dera kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh
bentuk perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai dengan
prinsip dan moralitas Islam. Hal ini menurut Maskuri Abdullah merupakan proses
dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah
fiqih Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat
dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah
yang paling ideal, tetapi cukup menjadi solusi dan memberikan harapan untuk
dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini
barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap
upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
0 Komentar